Berita Ekonomi, Washington D.C. - Lembaga Keuangan Morgan Stanley memprediksi Dolar Amerika Serikat (AS) akan melemah pada tahun depan bahkan hingga 2020. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) juga berpotensi rehat dulu dalam menaikkan suku bunganya.
Dilansir CNBC, Jumat (30/11/2018), Ini setelah The Fed diprediksi tidak menaikkan suku bunga pada pertengahan tahun, seiring perkiraan ekonomi AS akan tumbuh melambat pada tahun depan.
Hans Redekar, Kepala Global Strategi Forex Morgan Stanley mengatakan, faktor lain yang mempengaruhi depresiasi Dolar AS adalah Eropa, Jepang, dan China yang mulai tak berminat berinvestasi di pasar keuangan dunia. Kondisi ini membuat permintaan dolar AS akan menurun.
Adapun penguatan dolar pada tahun ini terjadi berkat ekonomi AS yang membaik serta tingginya imbal hasil surat utang yang tinggi. Itu tak terlepas dari pengaruh kenaikkan suku bunga Fed. Alhasil, permintaan dolar meningkat dan nilai tukarnya menguat.
Pada tahun ini, indeks dolar tercatat naik sekitar 4,9 persen. Akan tetapi, Morgan Stanley memprediksi bahwa indeks itu akan turun dari 97 ke 85 pada kuartal IV di 2019, dan menjadi 81 pada akhir 2020.
Awal minggu ini, Morgan Stanley juga meningkatkan saham di pasar berkembang dari underweight menjadi overweight.
Sementara, ekuitas AS turun menjadi underweight. Pasalnya, Morgan Stanley memprediksi ada perkembangan stabil di ekonomi pasar negara berkembang di tahun 2019.
Tahun lalu, Presiden Donald Trump sendiri pernah menyebut bahwa dolar terlalu kuat, dan dia sejak lama menyindir Bank Sentral negaranya agar jangan menaikkan suku bunga karena dipandang merugikan ekonomi. Ditambah lagi, Trump juga menuding China memanipulasi mata uang mereka untuk memperkuat ekspor.
Sentimen Dalam Negeri Dongkrak Rupiah hingga Sentuh 14.339 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat pada perdagangan Kamis ini usai mengalami tekanan pada kemarin.
Mengutip Bloomberg, Kamis, 29 November 2018, rupiah dibuka di angka 14.465 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.529 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.339 per dolar AS hingga 14.465 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 5,88 persen.
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.408 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.535 per dolar AS.
Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, pelemahan rupiah sempat menghalangi potensi penguatan rupiah, namun masih adanya sejumlah sentimen positif domestik membuat rupiah kembali perkasa.
"Adanya keputusan BI mempertahankan kebijakan pre-emptive dan ahead the curve guna menjaga stabilitas ekonomi pada 2019, berpotensi membuat suku bunga semakin meningkat, sehingga pelaku pasar cenderung bereaksi negatif, meskipun akan positif untuk pergerakan rupiah," ujar Reza dikutip dari Antara.
Ia menuturkan, sentimen negatif diharapkan dapat lebih berkurang sehingga laju rupiah tetap bertahan positif.
"Adanya komentar The Fed terkait dengan arah suku bunga yang cenderung netral membuat kenaikan dolar AS tertahan sehingga diharapkan dapat direspon positif rupiah untuk dapat berbalik naik," katanya.
Nilai tukar rupiah hari ini diperkirakan akan bergerak di kisaran 14.530 per dolar AS hingga 14.515 per dolar AS.
Sebelumnya, pergerakan dolar AS yang cenderung menguat jelang pertemuan KTT G-20 Summit yang akan mempertemukan Presiden Xi Jinping dan Presiden Trump, berimbas pada pergerakan sejumlah mata uang Asia, termasuk rupiah yang berbalik melemah.
Di sisi lain, sejumlah sentimen positif dari dalam negeri belum cukup mampu mengangkat rupiahyang dibarengi dengan penguatan dolar AS tersebut.