Petra Mandagi
Petra Mandagi diketahui ditemukan tewas usai insiden gempa yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018) lalu.
Petra ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di Hotel Roa Roa, Maesa, Kelurahan Lolu Timur, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018).
Petra ditemukan bersama seorang atlet lainnya yang juga sudah dalam kondisi tak bernyawa.
Ketua Paralayang Sulteng, Asgaf Umar mengatakan kedua jenazah tersebut sudah teridentifikasi.
Asgaf juga mengatakan, jenazah kedua dipastikan merupakan Petra Mandagi setelah melihat cincin yang dipakai bertuliskan nama sang istri, Stevi.
"Maka dipastikan Kedua jenazah adalah GLEEN MONONUTU dan PETRA MANDAGI. Keduanya adalah atlet Sulut," kata Asgaf.
Menurut kakak dari Petra Mandagi, sebelum dinyatakan hilang pasca gempa dan tsunami di Palu-Donggala Sulawesi Tengah, Petra Mandagi sempat menghubungi sang istri.
"Petra terakhir kali berkomunikasi dengan istrinya pukul 17.31 WIB," kata Pinkan Mandagi.
Editor: Ardhi Sanjaya
Meninggalnya Petra menambah kisah pilu kisah dari keluarga atlet yang berasal dari Sulawesi Utara itu.
Sebelumnya, sang ayah dari Petra Mandagi yakni Theo Mandagi juga meninggal dunia saat melakukan terjun payung ditahun 2004 lalu.
Theo meninggal dalam acara Ulang Tahun Kemerdekaan ke-59 setelah parasutnya tidak terbuka saat hendak bermanuver di udara.
Mengutip berbagai sumber, Theo Mandagi, ayah dari Petra Mandagi meninggal saat sedang merayakan pemecahan rekor terjun payung kerjasama di udara yang dilakukan 100 penerjun dari 17 negara pada 11 Agustus 2004.
Setelah berhasil memecahkan rekor, sejumlah penerjun lalu berinisiatif melakukan sunset jump, yakni terjun bersama-sama menjelang matahari terbenam.
Ajal tak dapat ditolak, parasut Theo tidak membuka dengan sempurna.
Akibatnya tubuh ayah dua anak ini meluncur bebas dan kemudian menghujam rawa-rawa di dekat Bandara Ngurah Rai, Bali.
"Waktu itu saya memang mulai gelisah. Saya tidak melihat payung papa diantara penerjun," ujar Petra, putra Theo kala itu
Ketika perasaan itu dikemukakannya, sang kakak, Pingkan, mencoba menenangkan dengan mengatakan dia tadi melihat payung papa mereka sudah mendarat.
"Saya kaget ketika melihat ternyata penerjun yang payungnya tidak mengembang itu Theo Mandagi," ujar Effendi Soen, sahabat Theo, yang waktu itu berada di lokasi.
Sementara itu, disekitar tahun 80-an tiga Mandagi bersaudara juga dikabarkan tewas dalam musibah kecelakaan.
Ketiganya yakni Robi Mandagi, Alfred Mandagi, dan Kristian Mandagi.
Tiga oang bersaudara itu tewas dalam insiden kecelakaan pesawat.
Pada 18 Mei 1986 tiga saudaranya sudah lebih dulu menghadap Sang Khalik akibat pesawat yang mereka tumpangi jatuh di Serpong, Tangerang.
Dalam peristiwa itu pilot dan seluruh penumpang tewas, termasuk tiga Mandagi bersaudara: Robbie, Alfred alias Woddy dan Chrisye.
Keluarga Mandagi dikenal sebagai keluarga atlet pencetak penerjun payung nasional yang mampu mengharumkan nama Indonesia dimata Internasional.
Bahkan kedua anak Theo juga sudah mengantongi jam terjun yang cukup tinggi.
"Sepeninggal Theo, Woddy, Chrisye, dan Robbie tidak ada larangan bagi anak-anak untuk tetap menekuni terjun payung," ujar Uci, istri Theo.
"Siapa tidak sedih kehilangan empat dari anak saya. Tapi itu mungkin sudah takdir," ujar Ny. Nelly Margaretha, ibu Mandagi Bersaudara.
Saat ini, keluarga penerjun payung itu sudah dimakamnkan ditanah kelahirannya di pekarangan rumah keluarga Mandagi di Kalasey, Minahasa, Sulawesi Utara.
Jasad ketiganya, dimakamkan berjajar dengan mereka Theo Mandagi.