Tutorial

DPR Berleha-leha Terhadap Revisi UU Anti Terorisme, Sedangkan Keamanan Negara dan Nyawa Masyarakat Terancam?


IBCBET - “Dewan Perwakilan Rakyat itu sebenarnya mewakili siapa?” Ini seharusnya menjadi pertanyaan yang terus diteriakan masyarakat kepada mereka. Kalau selama ini mereka sering menyerukan bahwa DPR mewakili suara rakyat, dan DPR sebagai representasi kehendak masyarakat, kenapa revisi UU Anti Terorisme kerjanya begitu lambat? Padahal revisi UU ini sangat penting mengingat nyawa rakyatlah yang menjadi taruhannya. Masyarakat dan aparat keamananlah yang berada pada baris terdepan menghadapi bahaya aksi terorisme. Sedangkan anggota DPR? Mungkin ada di baris paling kesekian, yang paling aman dan jauh dari ancaman aksi terorisme. Pernah dengar anggota DPR jadi korban bom bunuh diri? Nda pernah bukan?

Melihat bagaimana reaksi beberapa anggota DPR terhadap desakan pemerintah mempercepat proses revisi UU yang sudah berjalan selama 1 tahun lebih 2 bulan, saya jadi bertanya-tanya. Orang-orang seperti Desmond J. Mahesa dan Fadli Zon selalu saja berkilah dan terkesan membela rekan separtainya yang menjadi ketua pansus revisi UU Anti Terorisme. Apakah mereka sengaja berlambat-lambat karena posisinya sebagai oposisi? Ini kan keji. Masa hanya untuk kepentingan politik segelintir parpol oposisi, nyawa masyarakat yang dipertaruhkan? Saya berharap mereka tidak memiliki motif sebiadab itu. Saya mencoba untuk tidak berburuk sangka, karena bukankah mereka ini orang-orang yang amat mulia? Yang siang malam selalu memikirkan nasib bangsa? Betul kan?

HAM untuk Melindungi Siapa?

Selalu yang menjadi alasan dari kelambanan DPR soal revisi ini adalah masalah HAM. DPR (katanya) begitu peduli bahwa jangan sampai instrumen penegakan hukum merenggut HAM masyarakat di dalam aksi pemberantasan teroris. Sayangnya, kapasitas penalaran DPR entah kenapa hanya selalu berhenti di sana, soal bagaimana “melindungi” HAM dari pelaku atau terduga pelaku tindak extraordinary crime terorisme.

Kenapa DPR (dan Komnas HAM) tidak pernah menekankan sudut pandang pembelaan HAM dari para korban terorisme? Bukankah mereka juga memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mendapat jaminan pemeliharaan keamanan dari Negara? Bukankah keluarga-keluarga para korban juga memiliki HAM yang sama ketika tulang punggung keluarga mereka menjadi tiada akibat aksi terorisme?

Saya mengambil contoh kasus bom bunuh diri di Kampung Melayu tempo hari (24/05/2017). Salah satu korban adalah seorang supir angkot yang masih berusia belasan tahun. Ia harus menjadi supir angkot untuk membantu menafkahi keluarganya, yang notabene adalah masyarakat kalangan bawah. Sekarang, di mana suara Komnas HAM perihal kematian tulang punggung keluarga dari kalangan masyarakat kecil ini? Siapa yang sekarang akan berbagian untuk menanggung beban hidup mereka? Anggota DPR? Anggota Komnas HAM? Mana suaranya?

Lalu bagaiman dengan aparat yang meninggal? Ada suara bagi mereka? Pula korban pihak aparat yang masih selamat, mana teriakan soal pembelaan HAM Mereka? Mereka yang masih muda, mungkin baru berusia kepala dua. Saya tonton kesaksian dari ayah seorang korban, mata anaknya rusak parah akibat terkena serpihan bom. Jikalau mereka sampai cacat seumur hidup dan tidak bisa lagi berkarir di bidang apapun, padahal masih amat sangat muda, siapa yang akan peduli pada hak-hak asasi mereka? Komnas HAM, atau anggota DPR? Tidak bukan? Komnas HAM dan DPR hanya bisa berwacana, tetapi orang-orang di lapangan ini yang harus meregang nyawa. Sudah makan uang rakyat, malah tak serius melindungi masyarakat. Jadi, masihkah kita percaya pada suara Komnas HAM(burger) dan DPR yang seperti ini?

Teroris di Depan Pintu, DPR Malah Sibuk Cuap-cuap “Ini Itu”

Dengan peristiwa pendudukan kota Marawi, Filipina oleh kelompok ISIS, seharusnya DPR itu berkaca. Ancaman Negara sudah di depan mata, mereka malah masih berleha-leha. Marilah DPR melihat bahwa pemerintah adalah mitra yang strategis di dalam menghadapi ancaman teroris. Hentikan pertimbangan konstelasi politis dalam hal ini. Mari juga melihat bahwa seluruh instrumen ketahanan Negara adalah bagian taktis yang harus dimanfaatkan. Aneh bila TNI tidak dilibatkan di dalam perlawanan terhadap pengancam kedaulatan Negara kita. Masa nanti TNI kita yang diadili karena tidak ada payung perlindungan hukumnya ketika menghadapi teroris? Ini kan konyol. Tidak melawan, mereka mati di tangan teroris. Melawan, mereka masuk penjara. Luar biasa.

Aneh membaca respons Fadli Zon di media massa dalam menyikapi desakan pemerintah untuk mempercepat proses revisi UU Anti Terorisme. Alih-alih mengevaluasi kinerja yang telah memakan waktu 1 tahun 2 bulan, ia malah terkesan hanya bisa berdalih. Sikapnya ini berbeda sekali ketika DPR secara kilat merevisi UU MD3 terkait kursi ketua dan wakil ketua DPR pada tahun 2014. Hahaha, saya masih ingat, mereka rapat sampai subuh dan hari itu juga pelantikan ketua DPR periode 2014-2019 dilaksanakan. Wow, kinerja yang amat fantastis, patutkah kita apresiasi?

Akhir kata dari saya bagi para pembaca (Seword). Sayang sungguh sayang, DPR itu kerjanya kilat, tapi bukan pada kasus yang terkait dengan kepentingan publik. Kalau soal kuasa elit parpol bisa cepat, tapi kalau soal memelihara keamanan masyarakat, masyarakat terkadang harus tunggu dulu sampai jadi mayat. Itu pun mungkin hanya menggeser sedikit posisi mereka punya pantat.

Ah, jadi ingat lagunya Bang Iwan Fals.


Surat Buat Wakil Rakyat

Oleh Iwan Fals

Saudara dipilih bukan dilotre

Meski kami tak kenal siapa saudara

Kami tak sudi memilih para juara

Juara diam, juara he’eh, juara ha ha ha……



Wakil rakyat seharusnya merakyat

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat

Wakil rakyat bukan paduan suara

Hanya tahu nyanyian lagu “setuju……”


Berikut lagu Iwan Flas Surat Wakil Rakyat




www.maxbetindonesia.net

Created By : Silvi19891128
Sumber :  Seword
Share on Google Plus

About maxbet268